Ujian Manis Yang Bernama Cinta
Cinta, satu kata yang memiliki sejuta makna. Orang bilang jatuh cinta berjuta rasanya. Apapun yang dilakukan rasanya ingin selalu melakukannya dengan orang yang kita cintai. Sebuah rasa yang mampu menggetarkan hati siapapun yang merasakannya.
Aku pernah membaca suatu kutipan tentang cinta, yang mana katanya cinta adalah suatu penyakit yang penderitanya enggan untuk disembuhkan. Yang penderitanya akan dengan sukarela menjatuhkan dirinya dan membiarkan dirinya tenggelam dalam suatu rasa yang terkadang begitu menyesakan dada.
Cinta itu adalah fitrah. Allah menciptakan manusia dengan rasa cinta di hatinya. Rasa cinta terhadap keindahan, hewan peliharaan, kasih sayang sesama manusia, dan rasa cinta kepada lawan jenis. Itu adalah hal yang memang secara naluri dapat kita rasakan sebagai makhluk hidup, sebagai manusia.
Islam juga tidak mengharamkan cinta. Justru kita dianjurkan untuk saling mencintai karena Allah. Tapi justru yang sering membuat keliru dan salah adalah tindakan yang kita lakukan 'atas nama cinta'. Cinta tidaklah haram. Namun tindakan yang kita lakukan atas nama cinta itulah yang seringkali mendorong kita melakukan hal-hal yang Allah larang.
Contoh kecilnya adalah melegalkan cinta dengan pacaran. Bukankah sudah jelas bahwa Allah melarang kita mendekati zina? Tapi atas nama cinta kita sering buta dan berdalih dengan "kita tidak berzina kok", "cinta kan fitrah manusia, wajar dong saling mengasihi dengan cara pacaran, selama tidak berlebihan!".
Setidaknya begitulah pikiranku dulu. Tanpa bermaksud membuka aib, aku pun pernah berada di fase itu. Dimana aku merasa bahwa atas dasar cinta, pacaran itu adalah hal yang dapat dihalalkan padahal bukan seperti itu konsepnya.
Jika kita mencintai seseorang, bukankah kita tak ingin menyakitinya? bukankah kita ingin menjaganya? tak ingin suatu yang buruk terjadi padanya? Dan dengan menghalalkan hubungan yang haram (read: pacaran) bukankah hal itu yang justru akan menyakitinya dan menyakiti diri sendiri juga? Ketika di akhirat nanti pada akhirnya dua orang yang sempat saling mencinta itu saling menyalahkan, kenapa sebuah rasa yang dinamakan cinta itu malah membuat mereka celaka.
Baiklah aku tahu, aku mengerti. Tidak semua orang yang berpacaran itu pasti melakukan zina ataupun kontak fisik yang berujung zina. Tapi bukankah zina bukan hanya sebatas melakukan hubungan intim? zina nya mata adalah melihat yang bukan mahrom dengan rasa bahagia, zina nya pikiran adalah dengan membayangkan hal yang belum saatnya kita rasakan dan 'menyenangkan' nafsu kita.
Dan yang sering tidak kita sadari dan menurutku paling menakutkan saat kita mencintai adalah rasa cinta yang berlebihan kepada makhluk ciptaan Allah melebihi rasa cinta kita pada Allah. Boom! Hal inilah yang menurutku paling berbahaya dari hakikat cinta itu sendiri. Seringkali kita terlalu 'terlenakan dengan fitrah' yang akhirnya membuat kita secara tidak sadar mencintai makhluk Allah lebih dari cinta kita kepada Al Wadud Sang Maha Cinta.
Ketika kita mencintai seseorang dan orang itu pun mencintai kita rasanya seperti sebuah anugerah yang tiada terkira sehingga kita mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga hingga tak ada lagi yang tersisa untuk Sang Pencipta. Kita mulai terfokus hanya padanya, fokus melakukan seluruh hal yang dia sukai tapi kita lupakah hal-hal yang Allah suka. Tapi bukan berarti tak boleh mencinta, bukan itu maksudku. Hanya saja, coba kita pikirkan baik-baik. Ketika si dia yang kita cintai mengirimkan chat/menelpon kita dengan sigap sepenuh hati kita segera membalasnya. Namun saat adzan berkumandang? "ah nanti saja, toh waktunya masih panjang" Astagfirullah, aku sungguh beristighfar pada diriku yang dulu. Apalagi, dia bukanlah pasangan halal mu. Hmm... sebuah cara cepat untuk 'push rank' dosa kita ya.
Itu hanya contoh sederhana sebenarnya. Dari hal sesederhana itu bisa membuat akumulasi rasa cinta berlebihan kepada manusia dengan lebih besar dan lebih besar lagi. Padahal yang harus menjadi prioritas pertama kita adalah rasa cinta kita kepada Allah, lalu kepada Rasulullah, Orangtua lalu kemudian pasangan halal dan seterusnya.
Adakah jawaban yang sudah kita miliki jika kelak Allah bertanya tentang perasaan dan perbuatan yang kita lakukan selama hidup di dunia dengan rasa cinta berlebihan kepada hal lain selain Allah itu? Jujur, aku tak tahu. Aku pun takut akan hal itu. Aku takut jika saat aku mencintai seorang makhluk aku lupa dengan siapa yang menciptakan makhluk itu dan memupuk rasa terlalu berlebihan sekalipun itu pasangan halalku apalagi kalau dia bukanlah orang yang seharusnya aku cintai. Karena bagiku kini, aku melihat cinta adalah ujian.
Sebuah ujian manis. Itulah cinta. Yang manisnya itu jika berlebihan akan membahayakan kita. Cinta adalah ujian karena saat fitrah kita secara alami cenderung kepada sesuatu atau seseorang, tapi disisi lain kita harus menjaga diri kita agar tidak melakukan hal-hal yang Allah larang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW bahwa "tidak ada solusi bagi dua orang yang saling mencintai kecuali pernikahan" (semoga riwayat ini memang shahih ya, mohon maaf jika ada kekeliruan).
Tidak ada solusi dari dua orang yang saling mencintai kecuali pernikahan" sedangkan kita seringkali jatuh cinta sebelum adanya pernikahan itu dan disitulah ujiannya. Saat kita belum halal untuk saling menunjukan cinta untuk satu sama lain, akankah kita patuh dengan perintah Allah untuk bersabar dan menahan diri? Ataukah kita akan kalah dengan perasaan menggebu yang seperti kembang api di dalam dada itu? Yang membuat jantungmu berdegup dengan lebih cepat hanya dengan berbicara dengannya bahkan meskipun pembicaraan itu tersekat sebuah layar?
Berat! sungguh berat menahan rasa cinta itu. Ini sungguh ujian yang berat namun juga manis di waktu yang bersamaan. Rasanya bahagia, sungguh pasti membahagiakan ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang secara alamiah memang kita sukai. Namun justru disitulah letak ujian nya. Apakah kita akan memilih mengikuti apa yang kita sukai walau Allah tidak menyukainya atau kita menahan diri dari hal yang kita sukai karena kita lebih mencintai Allah!
Berarti Allah jahat dong? Kenapa sih mencintai harus sesulit ini? Bak membawa batu besar didalam dada, yang begitu menyesakkan! Hey, bukan begitu, Allah itu tidak jahat, tak pernah mendzolimi hamba-Nya. Allah tidak memberikan larangan kecuali memberikan pula penggantinya. Gantinya apa? menikah! Menikahlah jika memang kita sudah mampu, dan bersabarlah jika memang kita belum mampu. Dan disini pula lah terdapat keindahan yang begitu berharga dan begitu indah. Ketika kita memilih untuk menyimpan rasa itu dan diam-diam melangit kan namanya di setiap doa kita. Meminta Allah untuk menyatukan dua insan yang saling mencinta itu dalam ikatan yang suci yang halal yang di ridhoi oleh-Nya atau meminta Allah untuk menghapuskan perasaan itu dari hati kita agar kita tidak lagi tersiksa dan bisa lebih fokus dalam beribadah kepada-Nya tanpa mengkhawatirkan sesuatu yang sesungguhnya sudah Allah tetapkan untuk kita.
Iya, sudah ditetapkan untuk kita. Banyak ulama yang bilang kan, kalau jodoh kita sudah Allah tulis di Lauhul Mahfuz 50.000 tahun sebelum kita diciptakan. Meskipun memang dalam menjemputnya perlu ada usaha atau ikhtiar. Namun, jika memang untuk menikah masih belum sanggup, maka berpuasa dan menahan diri adalah ikhtiar kita dan setiap doa yang kita panjatkan, biarlah itu menjadi ikhtiar yang paling romantis yang bisa kita lakukan dalam 'memperjuangkan' sebuah cinta yang halal. Dan biarkan hati kita bertawakal pada Allah.
Meskipun, dalam kenyataan nya sungguhlah sulit. Terkadang mulut memang berbicara "tak apa kalau bukan dengan dia, mungkin dia bukan yang terbaik!" tapi tetap saja didasar hati, ingin bersama dengan orang yang memang sedari awal begitu kita impikan. Terkadang ketika kegundahan itu muncul, rasanya sangat sesak, seolah ada batu besar yang singgah dalam dada yang membuat kita merasa sulit bahkan untuk bernafas. Rasanya ingin sekali berlari dan memeluknya dengan erat dan mencurahkan seluruh kerinduan dan harapan yang begitu membuncah dalam hati.
Lalu terkadang muncul juga pikiran "orang lain pun pacaran sampai menikah dengan orang yang dicintainya" "mereka melanggar perintah Allah tapi bahagia!". Kalau soal ini, aku ingat salah satu ceramah ustad Hanan Attaki yang isinya kurang lebih begini: "kalau sedari awal kamu tidak melibatkan Allah, lantas ditengah jalan nanti kalau ada masalah kenapa kamu berharap segera ditolong oleh Allah? bukannya dari awal pun tidak melibatkan Allah dan malah asyik dalam kemaksiatan?" jlebb!!! Benar juga ya, walau tentu saja Allah Maha Penolong dan kita wajib menggantungkan harap kita hanya pada Allah. Tapi apa kita tidak malu? meminta cepat ditolong padahal dari awal sudah 'ngeyel' melanggar perintah Allah. Meskipun tentu saja Allah akan menolong hamba-Nya, Allah Maha Baik, Maha Pemurah, Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Tapi bukankah hati akan terasa lebih 'mudah' meminta pertolongan Allah jika sedari awal kita memang sudah melibatkan Allah dalam setiap pilihan apapun yang kita ambil.
Tapi bukanlah hidup jika didalamnya tiada ujian, bukanlah dunia kalau selamanya kita akan bahagia. Dunia memang tempat kita diuji, di dunia memang tak ada yang abadi. Entah itu kesedihan atau kebahagiaan. Semua datang silih berganti sebagai ujian hidup. Untuk membuktikan apakah kita akan tetap beriman dan bertakwa pada Allah di segala situasi? Saat lapang atau saat sempit? Saat bahagia saat sedih, akankah kita tetap beriman dan berprasangka baik terhadap segala ketetapan Allah? Karena apa yang datang dari Allah pasti yang terbaik, sekalipun kita belum tahu jawabannya kini.
Yang pasti, seperti apapun rasa yang hadir itu. Kuncinya adalah doa. Saat perasaan itu sedang begitu menyesakkan, bilang saja pada Allah tentang apa yang kau rasakan sejujur-jujurnya, toh tidak ada privasi antara kita dengan Allah dan sekalipun Allah tentu sudah mengetahui perasaan kita tapi Allah itu Ya Sami' yaitu Yang Maha Mendengar. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kalaupun jawabannya tidak langsung kita dapatkan hari itu. Setidaknya melalui doa dan 'curhat' pada Yang Maha Mendengar akan membuat hati terasa tenang. Dan saat hati sedang lapang pun tetaplah berdoa, setidaknya untuk bersyukur atas kelapangan yang dirasakan setelah malam-malam dan hari-hari menyakitkan menahan rindu dan rasa yang begitu menyesakkan dada. Dan berdoa untuk kebaikan orang yang kita cintai sebagaimana kita menginginkan kebaikan untuk diri kita sendiri.
Menurutku ini sungguhlah indah, seperti inilah seharusnya cinta itu. Tidak menjerumuskan satu sama lain kedalam dosa. Namun mendoakan untuk kebaikan. memasrahkan kepada Allah. Berharap Allah segera menolong kita baik itu dengan menyatukan rasa ini bersama dalam sebuah ikatan yang suci atau dengan memalingkan kita dari sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untuk kita. Kita harus percaya bahwa tiada doa yang sia-sia. Kalau tak kita dapatkan persis seperti keinginan kita, Allah akan berikan yang jauh lebih baik meskipun mungkin pada awalnya kita tidak mengerti, atau mungkin Allah ingin menyimpan balasan doa kita di akhirat nanti karena kita akan lebih membutuhkannya disana.
Dan perasaan cinta yang hadir dalam hati kita, saat kita belum seharusnya untuk mencinta, juga hadir sebagai ujian 'manis' dalam hidup kita. Entah ujian sebelum kita bersatu dengan orang yang kita impikan itu atau ujian sebelum Allah pertemukan kita dengan seseorang yang memang telah Allah pilihkan untuk kita, yang memang benar-benar telah Allah tuliskan namanya disamping nama kita sebagai jodoh kita.
Akhir kata, semoga ujian yang 'manis' ini tidak memabukan kita ya. Semoga 'manis' nya ujian cinta bisa membuat kita semakin merasakan 'manisnya iman'.
Capek ya? Berat?
"banget!"
Kalau seberat dan se melelahkan ini, bayangkan akan seindah apa 'kejutan' dibalik semua ini. Percayalah, Allah kan sesuai prasangka hamba-Nya. Jadi, mari kita berprasangka yang baik-baik bahwa setelah semua lelah dan gundah dalam penantian ini akan ada kejutan yang luar biasa yang membuat kita menangis bahagia dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita pada Allah.
Aamiin.
Komentar
Posting Komentar