Menjadi Manusia Merdeka

Ini adalah kisah tentang aku. Tentang manusia yang sedang belajar untuk menjadi merdeka. 

Apa sih manusia merdeka itu?
Bagiku, manusia yang merdeka adalah manusia yang mampu bahagia dengan dirinya sendiri tanpa menggantungkan kebahagiaannya pada siapapun kecuali Allah. Hidup yang tak menggantungkan tindakannya pada pandangan manusia lainnya, melainkan hanya pada apa yang membuat Allah ridho.

Tapi jangan salah paham juga, maksudku bukan berarti kita hanya fokus beribadah dan melupakan segalanya. Melakukan sesuatu yang Allah ridho tentu saja termasuk berbuat baik kepada sesama manusia kan?. Disamping beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi, saling mengingatkan dalam kebaikan, saling membantu, memudahkan urusan saudaranya, saling memaafkan satu sama lain, mengasihi anak yatim, menghormati kedua orang tua dan keluarga, mencintai dan menyayangi suami/istri yang halal baginya. Bukankah itu semua sebagian apa yang Allah perintahkan pada kita sebagai manusia kan? Jadi, dengan mencari ridho Allah, tentu saja itu merupakan paket komplit untuk menjalani hidup yang baik dan bahagia. Setidaknya itulah yang kupikirkan saat ini.

Jika kita hidup untuk mencari ridho Allah, tentunya kita takan mudah dikecewakan oleh manusia. Karena manusia itu memang memiliki sisi baik dan buruk. Sebaik apapun manusia pasti akan ada peluang yang membuat manusia menyakiti hati manusia lainnya. pun sebaliknya, seburuk apapun manusia pasti akan ada peluang untuk membahagiakan manusia lainnya. Jadi, semua manusia punya peluang untuk membuat kita kecewa ataupun membuat kita merasa bahagia. 

Saat manusia membuat kita bahagia, terkadang kita lupa bahwa hal itu terjadi atas izin Allah yang menghendaki kebahagiaan untuk kita sehingga kita lupa untuk bersyukur pada Allah dan bodohnya, kita (read: aku) menganggap bahwa sumber bahagia itu ya si manusia itu sendiri dan kita lupa bahwa sebaik apapun dia pasti akan ada suatu waktu dimana dia mengecewakan kita dan membuat hati kita sakit. Dan karena kita sudah menganggap dia sumber bahagia, maka kita tak pernah siap menerima kenyataan ketika dia membuat kita sedih dan terluka. Dan tenggelamlah kita dalam luka yang dalam. Sedalam angan kebahagiaan yang kita gantungkan padanya. Dan jadilah kita manusia yang tidak merdeka. Bagaimana bisa merdeka, jika bahagia saja kita gantungkan kepada manusia yang pada hakikatnya memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing.

Dan saat manusia membuat kita kecewa kita menjadi skeptis dan menganggap bahwa sama sekali tak ada kebaikan ataupun keadilan di dunia ini. Lalu kita mulai mempertanyakan "apakah benar Allah Maha Adil?" kenapa mereka bahagia, kenapa kita selalu terluka? seolah kebahagiaan tak pernah berpihak kepada kita. Dan kita seperti hidup dalam tempurung. Diliputi kesuraman, kemuraman, kesedihan, tanpa secercah harapan. Begitulah manusia yang tidak merdeka. Dan aku akui bahwa aku sempat atau mungkin masih seperti itu. Seperti manusia yang tidak merdeka.

Manusia tidak merdeka yang kebahagiaannya diukur dengan kebahagiaan manusia lainnya. Kalau manusia lain bahagia dengan pasangannya, kita harus begitu juga untuk mendapat bahagia. Kalau manusia lain bahagia dengan prestasi belajarnya, kita juga harus bahagia dengan cara yang sama. Kalau orang lain bahagia dengan pencapaian dalam pekerjaanya, kita juga harus melakukan hal yang sama untuk bahagia. Kalau orang lain punya rumah mewah, mobil mewah, harta yang berlimpah sehingga terlihat bahagia maka kita juga harus mempunyai hal yang sama. Miris sekali ya, untuk bahagia, kita harus seperti manusia lain yang belum tentu memiliki 'start' yang sama dengan kita. 

Padahal setiap manusia memiliki 'start' yang berbeda-beda dalam hidupnya. Jalan manusia pun berbeda-beda dan ujian yang Allah berikan pada setiap manusia pun berbeda-beda pula. Lantas untuk merasa bahagia kenapa harus bergantung dengan standar kebahagiaan manusia lainnya?. Aku tak tahu kapan hal seperti itu dimulai, namun menurut persepsi bocah kecil yang sedang beranjak dewasa sepertiku, itu karena kita (read: aku) terlalu mencintai dunia, sehingga untuk mencapai bahagia kita hanya melihat hal-hal indah tentang duniawi saja, seperti tiga kata yang selalu digadang-gadang saat ini yaitu "harta,tahta,cinta". Seolah untuk bahagia itu hanya bergantung pada tiga aspek itu saja. Aku bukannya membantah juga sih, beberapa manusia memang sumber kebahagiaannya adalah harta yang dititipkan padanya, tahta yang di amanahkan kepadanya, dan cinta yang dirasakan olehnya dan its valid!. Namun terkadang menurutku justru hal itulah yang akan membinasakan kita jika kita tidak menautkan hal itu pada Allah.

Maksudku begini, siapa sih yang memberi kita harta? siapa sih yang menghendaki kita bertahta? siapa sih yang menanamkan rasa cinta di hati kita? Harta, Tahta, Cinta itu milik siapa? Milik Allah, semua terjadi karena kehendak Allah. Tapi kita sering lupa kepada pemilik itu semua dan hanya fokus pada hal itu sendiri. Yang akhirnya kita menjadi manusia yang menghambakan diri pada "harta, tahta dan cinta (dunia)" untuk mendapat kebahagiaan. Padahal kita ini hamba Allah, sejatinya hanya Allah lah yang dapat membuat kita bahagia. Lantas kenapa kita tidak meminta pada Allah saja kebahagiaan itu? Kenapa tidak menjemput kebahagiaan itu dengan mencari Ridho-Nya saja? Tentu kebahagiaan dari Allah adalah yang paling sejati. Bukankah kita sering menjumpai juga bahwa ada orang yang begitu bahagia meskipun hanya makan seadanya, bukankah banyak juga manusia yang bahagia walau ia tidak punya pasangan, tak punya mobil mewah, tidak punya rumah megah. Sudah cukup jelas kan bahwa bahagia tidak melulu harus sama seperti manusia lainnya. Terikat dengan standar manusia lainnya.

Menjadi merdeka bukan pula hidup sebebasnya tanpa aturan. Tentu saja ada aturan yang harus kita genggam dalam hidup agar hidup kita tetap seimbang dan berada di "track" yang benar. Dan aturan utama yang harus kita genggam untuk menjadi manusia yang merdeka adalah aturan Allah, cukup Allah saja. Sang Pemilik Segala apa yang ada di langit dan bumi. Dengan hanya mengharap ridho Allah tentulah kita takan mudah kecewa oleh manusia. Bukannya tak pernah kecewa loh ya, sebagai manusia sangat wajar jika sesekali kita merasa sedih dan kecewa, itu memang fitrah kita. Tapi sehebat apapun manusia lain menyakiti kita, aku percaya kalau kita ada dalam ridho Allah, Allah tak akan membiarkan kita terpuruk dan terjatuh terlalu dalam, kalaupun kita terjatuh sebegitu dalamnya Allah pasti akan menguatkan kita lagi, lagi, lagi dan lagi karena sedari awal yang kita cari adalah ridho Allah. 

Maka saat manusia lain mungkin mengecewakan kita, kita akan lebih berbesar hati menerima karena yang kita lakukan hanya mengharap ridho Allah semata. Misalnya saat kita berbuat baik pada seseorang, tapi orang itu tak membalas ataupun berterimakasih pada apa yang telah kita usahakan, jika yang kita cari sejak awal adalah ridho Allah, hati kita akan berbesar hati menerima "ah sudahlah tak apa, aku berbuat baik karena Allah suka dengan orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan Allah Maha Melihat, Allah Maha Adil, Biar Allah saja yang membalas". Lihat? bukankah cara pandang seperti itu lebih melegakan hati?, Maaf kalau kamu tidak melihatnya seperti itu, tapi setidaknya begitulah menurutku. Hmm sekali lagi, bukannya kita tidak boleh merasa sakit sih, memang sangat valid perasaan kecewa itu, aku juga bukannya tak pernah kecewa, aku juga bukannya tak pernah sakit hati. Sebelum sampai pada pikiran seperti itu juga aku sempat jatuh sedalam-dalamnya dalam luka yang amat menyakitkan bagiku dan sulit sekali untuk menerimanya, karena aku pun sempat menggantungkan bahagia pada manusia lainnya, pada cinta manusia yang dapat mudah untuk berubah. Tapi aku bersyukur atas luka yang pernah ku rasakan itu, karena lewat luka itu Allah mengajariku cara untuk menjadi manusia merdeka, manusia merdeka yang tidak menggantungkan bahagia pada manusia lainnya pun pada standar kebahagiaan yang dilabeli dengan harta dan tahta.

Sejujurnya, aku mungkin belum sepenuhnya merdeka juga sih hehe. Aku pun masih belajar dan terus belajar untuk tidak menghambakan diri pada dunia, tidak menghambakan diri pada harta tahta dan cinta dunia dan kembali kepada hakikatku sebagai manusia ciptaan Allah yang harus menghamba kepada Allah, Pencipta Manusia, Raja Manusia, Sembahan Manusia, dan Penguasa seluruh alam semesta, Rabb Seluruh Alam.

Akhir kata, aku hanyalah manusia biasa. Seorang gadis kecil yang sedang belajar menjadi dewasa. Belajar mencari arti hidup dan belajar untuk menjadi manusia merdeka. Dalam melalui hidup ini aku pasti pernah salah, aku pasti pernah keliru, tapi aku berharap Allah selalu menghendaki aku untuk belajar dari setiap kesalahan dan kekeliruan yang pernah ku lakukan. Dan saat ini aku berharap, aku bisa untuk merdeka dan tak mengukur standar bahagia dengan kebahagiaan manusia lainnya. Sehingga aku akan menerima dan lapang dada dengan takdir apapun yang Allah berikan untuk ku.

Urusan karirku, percintaan ku, masa depanku. Ku harap aku tak membandingkan hal itu dengan kebahagiaan milik manusia lainnya. Sendiri atau berpasangan, kaya atau tidak, berstatus sosial tinggi atau tidak bukanlah penentu kebahagiaanku. Penentu kebahagiaanku adalah Ridho Allah, jika Allah ridho denganku InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Kalaupun suatu waktu hal menyakitkan datang, aku percaya Allah akan menguatkan aku lagi. Seperti yang kurasakan kini, aku sempat sakit hati, aku sempat terluka bahkan aku sempat ingin mengakhiri hidupku sendiri, jatuh sedalam-dalamnya kedalam luka. Namun alhamdulillah sekarang semua terasa jauh lebih baik. Aku belum punya pasangan, aku belum lulus kuliah, aku belum punya pekerjaan saat teman sebaya ku sudah mulai banyak yang lulus, banyak yang menikah dan karirnya mulai menanjak, tapi jujur saja hatiku tidak berat lagi. Sungguh, Allah telah melapangkan dadaku. Sungguh aku sedang merasakan makna di surat Al-Insyirah benar-benar terjadi di hidupuku kini. 

 Surat Al-Insyirah:
       

  أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ 
1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,

 وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ 
2. dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, 

ٱلَّذِىٓ أَنقَضَ ظَهْرَكَ 
3. yang memberatkan punggungmu?

 وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ 
4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,

 فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا  
5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 

إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا 
 6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ 
7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, 

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب 
8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Referensi: https://tafsirweb.com/37364-quran-surat-al-insyirah.html

Alhamdulillah sepertinya aku mulai memahami apa makna "sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan" versi hidupku. Versiku dan ke sok tahu an ku, kemudahan setelah kesulitan yang aku rasakan adalah saat aku telah merasakan luka yang begitu dalam, aku menjadi lebih mudah mendekatkan diri pada Allah dan menyadari hakikat ku sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepada Allah dan mencari Ridho Allah. Bagiku itulah yang terbaik bagiku saat ini, dimana aku sudah tidak terlalu disilaukan oleh dunia dan mulai memikirkan dan belajar melakukan segala sesuatu dengan mengharap ridho Allah semata. Semoga aku bisa, semoga aku tidak keliru dengan pikiranku ini dan kalaupun aku keliru, semoga Allah dan Rahmat kasih sayang-Nya akan selalu menegurku dan mengingatkan aku jika aku salah ataupun keliru.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Inginkah Menjadi Guru?

Siapa yang Kurindukan?

I lost him, but I found The Greatest "HIM"